
Sebelum perhatian kita terikat pada deretan dialog para tokohnya, ada baiknya kita menyimak pengantar pada halaman awal. Ada hal-hal menarik yang patut menjadi catatan pembaca novel Mangir ini. Manfaatnya yakni, kita mengetahui jejak kehadiran novel ini yang telah mencapai cetakan ke tujuh belas. Pembacaan kita terhadap kehadiran novel ini akan lebih utuh.
Pertama, naskah ini rampung pada tahun 1976. Oleh penulisnya, Pramoedya Ananta Toer, naskah ini berdasar atas cerita yang berkembang di Jawa. Pada pemerintahan Panembahan Senopati,terdapat satu tanah perdikan yakni Mangir yang dirasa kurang tunduk kepada Mataram.
Pihak Mataram mencari cara bagaimana mengikat Mangir dalam bentuk hubungan kekuasaan yang lebih pasti yakni tanah perdikan Mangir benar-benar tunduk dan berbakti kepada Mataram. Keputusan berlaku. Misi penaklukan tanpa serangan pasukan. Lebih tepatnya melalui misi seni.
Dengan demikian, buku ini merupakan bentuk pandangan Pramoedya Ananta Toer terhadap kisah Mangir yang sudah beredar di masyarakat. Menurut RBP, bukan saja Pramoedya menorehkan reinterpretasi melalui dialog antar tokoh atas kisah ini, namun ada semangat “rasionalisasi yang diusung oleh Pramoedya.
Rasionalisasi ini bertujuan membawa kejadian dan motif kedalam perhitungan rasional. Dampak upaya ini yakni meminggirkan sesuatu yang dianggap mistik.
Hal ini tampak jelas misal,salah satunya, pada visualisasi Baru Klinting. Cerita tentang Mangir memiliki ragam versi. Cukup mudah pada zaman ini untuk mengeksplorasinya. Pada link ini, https://www.youtube.com/watch?v=qmWw-M5_13w , RBP menemukan bahwa Baru Klinting adalah sebuah tombak. Tombak ini dianggap sebagai senjata Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Namun pada buku tulisan Pramoedya ini, Baru Klinting adalah orang. Pramoedya mempersonifikasikannya sebagai seorang prajurit berusia kurang lebih 26 tahun. Ia ahli strategi, pemikir dan organisatoris. Inilah sosok yang hidup dan lebih masuk akal sebagai pendukung penting Ki Ageng Mangir.
Kedua, buku ini menyajikan sebuah info unik bagaimana sebuah strategi perang dilakukan yakni melalui misi seni. Ini adalah pilihan dari mataram. Misi seni adalah strategi teknis yang jitu dalam sebuah perang. RBP teringat sebuah karya sastra lawas yang sudah dibuat menjadi film yakni Illiad & Odyssesy.
Karya sastra ini adalah karya Homeros. Karya ini juga menyampaikan sebuah strategi melumpuhkan lawan menggunakan pemahaman kebudayaan yang dieksekusi melalui Kuda Troya. Para prajurit Yunani yang berusaha menguasai kota Troya merasa kesulitan masuk ke benteng musuh.
Melalui kuda Troya lah , para prajurit Yunani bersembunyi dan bisa masuk kedalam benteng. Disaat malam, para prajurit keluar dan membuka gerbang kota hingga pasukan Yunani bisa masuk dan meluluhlantakkan kota.
Mirip dengan kisah Mangir. Kisah strategi penaklukan jitu tersaji. Ini menandakan bahwa tidak mesti penaklukan dengan serombongan besar pasukan. Sebuah pembelajaran yang bernilai tinggi bagi pembaca.
Ketiga, buku ini ditujukan sebagai pedoman produksi drama. Cukup sistematis. Buku ini tidak saja berisi dialog, namun juga informasi karakter dan seragam masing-masing tokoh utama. Upaya ini mempermudah penjiwaan aktor dan aktris yang ingin memerankannya.
Tidak ada rekomendasi denah panggung. Namun ragam informasi yang dituliskan oleh Pramoedya pada cerita ini kiranya tidak terlalu mempersulit produser drama. Panggung bisa saja diserahkan kepada interpretasi para pembacanya.
Bagi RBP, buku ini unik. Tidak saja mempersembahkan sebuah interpretasi mendalam dari penulisnya, namun juga referensi yang bermanfaat bagi siapapun yang ingin mementaskan drama ini.